17 November 2009

kapan sih terakhir kamu baca..?


Tergelitik oleh konten blog beberapa rekan TS, yang paling menarik minat adalah buku yang terakhir selesai mereka baca. Kata selsesai memang sengaja dibikin bold dan italic untuk memberikan penekanan proses itu sudah selesai, bukan baru diawal atau dalam perjalanan.

Ternyata, secara kasar, ditengah kesibukan rekan-rekan menjalankan profesinya (dan double kob bagi mereka sebagai ibu rumah tangga), banyak dari kita yang masih mampu merampungkan buku-buku terkini. With no offense, kalo calon spesialis baca jurnal mungkin lebih pada kewajiban dengan sedikit bumbu kebutuhan.

Fenomena ini mengingatkan di masa-masa kuliah dulu, ketika salah seorang dosen IPD kita (too bad, I'm totally forget his name. Apologize for this, Sir..!) yang mengutarakan bahwa semakin tinggi kedudukan profesi kita (mahasiswa - S.Ked - dokter - spesialis - konsulen) sebenarnya justru malah semakin jarang kita membaca. Jeduk..!! Masa sih..?? batinku setengah tidak percaya.

Well, setelah mencapai taraf dokter, baru aku tersadar bahwa sebagian dari apa yang beliau katakan ada benarnya. Kalau nggak dipaksa (entah karena lupa, ada pasien yang nanya, ato mentok nemu kasus aneh..) baru deh kita membuka buku kita. Itu untuk asupan kita sebagai dokter. Bagaimana dengan bacaan sebagai penyalur hobi atau sekedar mengetahui info yang berkembang? Baca novel, baca komik, baca buku resep makanan, buku sejarah, politik, koran, blablabla, whatever...

Waktu berangkat ke Kalimantan tahun 2003 untuk mencari pengalaman, yang pertama kali kukerjakan adalah menjejali laptopku dengan berbagai ebook kedokteran. Sederhana saja, buku kedokteran berat-berat, jadi dengan membawa versi ebook-nya aku hanya perlu menjinjing laptop saja. Berkebalikan dengan itu, aku tidak keberatan membawa berbagai novel, buku cerita sejarah sampai satu kardus mi instan! Dan semua itu ludes dalam waktu tiga bulan sejak aku tiba. Maklum banyak sekali waktu luang untuk dibunuh dengan membaca.

Demikian juga saat aku di Aceh ditengah para pengungsi dan pekerja sosial internasional. Kali ini yang kubaca adalah bagaimana menangani penyakit di pengungsian, mencegah outbreak, standar kerja petugas asing, dll. Walau setelah membaca dan memperhatikan itu semua, toh aku kecewa bahwa ternyata kinerja orang kita masih lebih baik dari relawan asing yang dikirim untuk membantu Indonesia. Belum lagi iri hati kalo membanding gaji mereka dengan relawan lokal. Tapi disini aku sempat menyelesaikan Musashi yang 1000-an halaman yang kubeli saat singgah di Gramedia Medan. Ga peduli dengan olok-olok teman,"wah, bukunya boleh tuh buat bantak, Bang..!" Demikian juga dengan Ketika Cinta Bertasbih yang kukenal di tenda pengungsian.

Saat di Irian, yang hampir setiap hari dicari adalah penanganan malaria, dan penyakit tropis infeksi yang menduduki 10 penyakit teratas. Singkatnya, Senin - Jumat kerja untuk pasien. Malam atau Sabtu - Minggu aku tenggelam dibalik Winnetou atau buku Karl May lain. Tidak seintens di Aceh dulu, karena di Irian aku ditemani istriku tercinta. Komplit, bulan madu di Papua sambil baca buku. Dibayarin lagi...

Di jakarta..?? Hobi beli buku kalo tidak ditahan oleh asuransi kesehatan dan pendidikan anak sepertinya tidak bisa berhenti. Aku sampai harus membuat rak buku baru untuk menampung koleksi buku milkku dan istri. Belum buku bacaan untuk putriku. Ruang tamu kami sudah seperti perpustakaan dan ketika putriku dan teman-temannya membaca yang ada adalah berantakan yang bikin pusing neneknya. Tapi, dari sebegitu banyak buku-buku yang kupunya, ironisnya belum ada satupun yang tamat kubaca.

Bacaan yang berhasil kuselesaikan lebih banyak adalah versi ebook, yang sudah kudonlod ke laptop atau hapeku. Beberapa audiobook juga kupunya yang kuputar saat pergi atau pulang mengendarai motor. Tapi kebiasaan ini kuhentikan karena mengganggu konsentrasi dan aku sendiri tidak bisa memahami jalan cerita yang dibacakan karena terganggu bising knalpot dan klakson dari kendaran lain.

Jadi, kembali ke pokok permasalahan yang diungkap si Dosen, aku saja yang masih level rendah sulit sekali menyisihkan waktu untuk membaca. Bagaimana dengan senior konsulen yang mereka pagi mengajar selanjutnya operasi atau praktek di RS lain?

Tampaknya kita memang harus menciptakan waktu tersendiri yang mewajibkan kita untuk membaca, entah apa bacaan itu. Salut buat mereka yang bisa melampaui hambatan waktu ini dengan merutinkan diri membaca.

16 November 2009

jakarta kebanjiran


sungguh akhir pekan kelabu.

rasanya kalo ditulis jakarta kebanjiran bukan hal yg aneh. sudah ratusan kali koran menurunkan berita setiap tahun, toh banjir makin kerap menyambangi jakarta.

Tapi kali ini yang bikin kelabu dan amarah seluruh pekerja urban adalah simbiose antara waktu turun hujan dan orang pulang kantor di Jumat sore. Bisa ditebak, yang ada hanyalah kemacetan dimana-mana.

Seperti janjian, seluruh kawasan bisnis jakarta digenangi oleh air setinggi lutut, bahkan lebih. Dan mobil dan motor yang memenuhi jalan sudah berubah menjadi perahu pengangkut manusia. Kondisi terparah saat jam 6 sore, karena mereka yang pulang sudah bosan menanti hujan reda sejak jam 4 saat bubaran kantor.

Kalo saja antrian tidak panjang banget, kalo saja motorku tidak mogok karena ketelan air got, kalo saja kamera digital yang kubawa sudah kupasangi casing waterproof, dan ribuan kalo-kalo yang lain mungkin aku bisa mengabadikan momen itu untuk kuceritakan nanti ke anak cucu betapa jakarta sudah mulai lelah menanggung hidup jutaan warganya.

Tapi pikiranku terfokus pada motor biru kesayanganku yang mati terendam banjir. Sepele sih, dengan sedikit ketelatenan membongkar busi dan menguras bensin di karburator, biasanya dia siap untuk menunaikan tugasnya lagi. Yg bikin senewen adalah saat itu sudah pukul 10 malam, padahal aku pulang dari kantor MER-C jam 9. Perjalanan panjang mengingat untuk durasi segitu biasanya aku sudah sampai rumah di Lenteng Agung yang berjarak 35 km. Lha ini baru nyampe matraman yang cuma 2 kiloan dari Kramat Lontar.

Senewen karena istriku ditegur oleh orangtuaku karena sampai malam belum sampai rumah. Maklum juga, mereka akan berangkat ke tanah suci keesokan harinya. Jadi kepinginnya saat itu seluruh anggota keluarga ngumpul dirumahnya. Ayahku malah bilang,"Ngapain sih si Arief hari gini masih di MER-C?" Nasib,..
Yang heboh jawaban istriku,"Ya mungkin karena Mas (panggilan istri ke aku) udah sering pergi kali, Yah..makanya nggak ngerasa tegang mau ditinggal.." Gubrak,..

Balik ke fenomena banjir Jakarta, sekedar menggambarkan betapa parahnya kondisi malam itu. Salah seorang teman sudah bersiap pulang jam 7 malam ketika teman lain datang untuk menjemput istrinya di kantor itu."Nanti aja, macet banget di Salemba," katanya mengingatkan. kamipun menunggu. Sampai jam 8, rupanya sang teman tadi sudah tidak sabar menunggu lagi. Jadilah ia bergegas keluar mencari kendaraan umum untuk pulang.
Dan seperti kuceritakan di awal, aku baru beranjak saat jam menunjukkan pukul 9. Ditengah asyik menggenjot sepeda motorku itulah kulihat sang teman tadi berjalan kaki disebelahku. Dia tidak menyadari karena banyaknya orang yang juga senasib, entah menunggu kendaraan umum, entah menunggu jemputan atau sama-sama mogok.

Dan ya itu tadi, untuk menempuh jarak Kramat - Matraman yang wajarnya hanya memakan 15 menit menggunakan angkot, saat itu membutuhkan 2 jam!!

Entah siapa yang salah, warganya kah yang sudah kelewatan mengeksploitasi alam atau memang alam itu sendiri yang sudah semakin tua. Tapi yang jelas, aku tidak menyesal tidak memilih dia yang ngakunya ahli sebagai gubernur jakarta karena permasalahan banjir yang rutin dialami belum sekalipun ditangani oleh ahlinya...

23 Oktober 2009

maling di kantor sendiri

Nggak ada yang salah dengan judul di atas. Hari ini entah salah siapa, pintu kantor tiba-tiba tidak mau terbuka. Kunci seperti terganjal, tidak mau masuk penuh. Kecurigaannya, masih ada anak kunci yang menempel di sisi dalam. Tapi siapa, tidak ada satu pun yang tertinggal di dalam sana. Kesimpulannya, orang terakhir lupa untuk mencabut anak kunci sebelum menutup pintu teralis luar.

Apes,....
Padahal klien dari salah satu perusahaan rekanan sudah datang menunggu. Dan dia pun menjadi saksi bagaimana kami bingung menghadapi situasi terkunci ini.

"Coba pake kawat deh, dok...?!" kata anak CS. Emangnya gue McGyver apa..kalo kunci motor dan mobil sih pernah kubongkar. Nah ini pintu teralis..??

"Panggil tukang kunci aja, deh..!" kataku tidak mau pusing, apalagi menambah kerusakan yang mungkin tidak perlu.

Maka pergilah si OB naik motorku nyari tukang kunci di daerah Jatinegara.

Sementara menunggu OB balik membawa tukang kunci, pandangan mataku menatap ruang kerjaku di lantai 2. kalo nasib baik, biasanya aku cuma menutup saja, tidak sampai mengunci gerendelnya. (Kebiasaan buruk, jangan ditiru...). Jadi yang kubutuhkan cuma tangga untuk naik ke Lt.2, membuka jendela dan turun kembali ke lantai 1 melihat sebab kenapa anak kunci tidak bisa membuka.

Keliling ke sekitar blok, aku menemukan tangga sedang nyender di salah satu kantor. "mBak, saya pinjam tangganya..." ujarku permisi ke penunggu kantor tersebut. "Buat apa, Mas? tanyanya menyelidik.."Buat masang spanduk..boleh ya.."kataku melas. "cuma ke B6, kok.." tambahku menyebut alamat kantor. "Kembaliin ya, Mas.." kata si mBak mengijinkan.

Ups, tangga yang kubawa hampir-hampir nggak mencapai lantai 2. Tidak apalah sedikit menggapai pegangan AC dan pipa. Sedikit memang, juga sedikit lagi jatuh kalo tidak hati-hati.
Damn,...jendela terkunci. Rajin juga OB-ku ngecek keamanan kantor...

Turun lagi, menilai keadaan lagi. Si OB belum balik dengan tukang kunci.

Aku ingat di lantai 4 ada celah di atap untuk masuknya sinar matahari, mungkin itu bisa dijadikan tempat masuk. Semoga aja bawah bagian itu bukan void bangunan, kataku dalam hati. Salah-salah menginjak langsung nyampe ke lantai 1. Buru-buru kuhapus bayangan itu.

Setelah ijin dengan tetangga sebelah, aku pun naik melalui kantor sebelah. Eh, cuma sampe lantai 3. So..? Bayangin ajalah Jackie Chan yang lagi ngelompatin tembok...Rada-rada fear factor gimana gitu..Inget pesen engkong: jangan liat ke bawah kalo lagi naek tinggi...!

Hup, sukses sampai atap lantai 4. Lho..? Ternyata semua pake multiroof, jadi nggak bisa diangkat karena permanen dipaku ke reng atap. Bengong lagi di atap kantor. Hmm, pemandangannya lumayan keren juga. Tapi puaanasssnya minta maap,...

Jadi aku buru-buru ke lantai 4, harapanku satu-satunya untuk masuk ke dalam. Pintu terkunci, jendela terkunci. Ya karena memang nggak ada yang tinggal di situ. Hampir-hampir kupecahkan kaca jendela di lantai 4. Tapi males banget ngerapihinnya. Mikir lagi

Congkel sana congkel sini, nggak bergerak juga. Kucopot lis karet kaca jendela masih ada lagi lis alumuniumnya. Halah,..gimana coba? Setan lewat lagi, udah pecahin aja...
Saat hampir mentok dan tangan udah menggapai kursi kecil untuk membuyarkan kaca, kuiseng nyungkil satu lis alumunium jendela. Kok, meregang..kuteruskan usaha itu. Aha...! berhasil dilepas. Bak ahli seluruh lis kulepas dan plop! Kaca jendela itu jatuh menimpaku. Nggak kok, nggak jadi pecah. udah siap siaga menunggu jatuhnya jendela.

Dengan gembira, aku melompat masuk ke kamar dan segera berlari menuruni tangga ke lantai 1. Gelap nggak kupikir lagi. Yang penting segera membuka pintu. Dan benar, si anak kunci dengan antengnya menggantung di lobangnya.

Akhir cerita nggak usah kutulis disini. Tapi moral kisah ini : selalu nilai kondisi yang terjadi berulang kali. Jangan libatkan emosi, gunakan akal sehat. terakhir, cheer up when everything is over.

Halah,

12 Oktober 2009

kuberpaling dari iphone

Awalnya sempet girang karena iphone 3G 32Gb sudah ditangan. Tapi demi jaga2, salah satu kesepakatan dengan penjual adalah garansi uang kembali jika tidak puas dengan produk atau ada cacat. Penjualnya yang terlalu baik atau akunya yang minta terlalu lebih. Tapi untuk 4,2 juta kayanya itu sah-sah aja.

Dan, yang dikhawatirkan pun terjadi. Banyak fasilitas yang hilang. Wifi nggak nyala, beberapa apps apple ga ada, yg parah handset ini ga bisa dikenali oleh iTune itu sendiri. Ada apa denganmu???

Penasaran kuoprek aja semua sistemnya..klik sana look for file, dst-nya

Kelihatan kalo mesin ini diberi kode NX bukan IPHONE seperti layaknya yang ada. Jadi kesimpulannya barang yg kubeli adalah nexian rasa iphone, kira2 begitu.

Sebell banget. Padahal buat beli tuh iphone nabung gaji 3 bulan. Udah permisi ama nyonya di rumah karena waktu dia kubeliin hape cuma ngasih Nokia ExpressMusic yg 2 jutaan.

Dan dengan segala cara tuh Iphone cina bisa kubalikin lagi ke penjualnya.

Walhasil, berhubung lagi butuh banget sama hape, smartphone ato whatever it calls, kuberalih ke Samsung Omnia i900, walo kalo mau jujur udah males pake platform Win**ws.
Yah sementara lah, kali aja ada rejeki tambahan buat nyari Android laen..ato ada jatah ke luar negeri beli iphone langsung disono...

07 Oktober 2009

Menghitung solidaritas saudara setanah air

Kapan kita bisa tahu bahwa kita memiliki saudara yang mendukung kita? Paling sering jika kita sedang kesusahan. Kalo pas kita sedang susah ternyata nggak ada yang peduli sama kita, jangan-jangan saat saudara kita yang lain susah pun kita juga tidak peduli. Semacam karma lah...

Pada kasus bencana Indonesia, kepedulian terbangun dengan informasi yang intens. Secara kasar, bagi media terbukti bad news is a good news. Boleh lah dilihat dalam hal pemberitaan gempa Padang. Ada dua stasiun televisi yang mendominasi. Pertama adalah TVOne yang notabene pemimpin redaksi beritanya adalah Karni Ilyas yg notabene orang Padang juga dan MetroTV yang sejak awal memang sudah memantapkan peran menjadi news TV di Indonesia. Secara kuantitatif tayangan kedua stasiun ini tentang gempa sangat intensif, mulai dari liputan, diskusi, dll. Yang jadi narasumber pun mulai dari masyarakat biasa, ahli, hingga politikus.

Hasilnya? Tayangan di running text TVOne menulis terkumpul 18 Milyar lebih. Kalau mau lebih heboh nih saya tulis pake angka semua 18.000.000.000 sementara MetroTV "cuma" sekitar 8 milyar. Itu pun digabung sama media lain milik Media Grup seperti koran Media Indonesia.

Itu dari media TV, belum terhitung dari media koran dan majalah, LSM besar dan kecil, mahasiswa yang ngumpulin recehan di peremoatan jalan dan lain-lain. Estimasinya mungkin bisa lebih dari dana tanggap darurat pemerintah yang 100 milyar itu...

Stasiun lain yang memberitakan "yang penting-penting saja" dalam bencana ini kedengarannya "kurang berbunyi" dalam menyebutkan hasil pengumpulan dana bencananya.

Kenapa demikian? Ada beberapa jawaban yang bisa diajukan ke depan.
Pertama, pemberitaan yang intens akan semakin menarik simpati orang lain untuk mau mengulurkan tangan, apalgi bila dikemas dengan cantik, tidak hanya sekedar mengumbar air mata korban bencana. Kedua, pemberitaan yang intens juga akan semakin memudahkan orang untuk mengingat kepada siapa sumbangan akan disalurkan. Ketiga,pemberitaan menunjukkan bahwa yang bersangkutan betul-betul telah bekerja dan nyampe disana. Pengalaman saya sendiri saat menggalang dana untuk Palestina sungguh sulit menangguk dana diawal-awal agresi karena tim MER-C sendiri belum masuk ke Gaza dan mengirim foto apa-apa. Tapi, begitu tim berhasil masuk dan mengirim foto-foto otentik dari Gaza, tim sosialisasi sampai kewalahan menerima permintaan jadi pembicara.

Kembali ke persoalan solidaritas tadi.
Tentu sangat naif jika kita hanya menghitung simpati kita dari rupiah yang kita keluarkan. Tapi kalo sama sekali tidak ada rupiah yang keluar, susah juga mau dikatakan bersimpati. Judulnya kan menghitung jadi kita bisa menghitung usaha kita untuk membantu saudara-saudara kita yang kesusahan di seberang sana. Entah dengan duit kontan, tenaga yang kita punya, waktu yang kita sisihkan dari jam kerja dan kumpul keluarga kita, ato mungkin hanya sekedar doa yang mustajab. InsyaAllah itu semua akan dicatat dan dijadikan timbangan amalan kita kelak.

01 Oktober 2009

bencana (lagi)

Belum selesai kita menghadapi gempa Jawa Barat, kini Ranah Minang digoyang juga. Seharusnya dengan kepahaman kita akan posisi yang berada di atas cincin pegunungan api, menjadikan kita siap serta tidak terkaget-kaget lagi apabila gempa hadir kembali.

Yang membuat miris saat menyaksikan tayangan (yang katanya) LIVE di media televisi, bukan saja banyaknya rumah, gedung, dan fasilitas umum yang rusak, tapi jauh daripada itu semua, adalah kondisi warga yang kebetulan tertangkap kamera hanya menonton atau menemani sang wartawan yang sedang melaporkan berita terkini dengan tergagap-gagap. Numpang mejeng? Ah tentu boleh saja. Tapi kan sekarang kondisi bencana. Memangnya mereka tidak memiliki keluarga untuk diselamatkan atau tetangga yang membutuhkan bantuan?

Salah satu jargon yang melekat pada fase awal bencana adalah Yo-Yo 24H, yang artinya you on your own for 24 hours! Kasarnya, jangan ngarepin bantuan datang deh sampai besok. mending apa yang bisa kita kerjakan dikerjakan dahulu. Konsep ini melahirkan kemandirian korban bencana dalam mengatasi kondisi yang ada sesuai kemampuan mereka. Konsep ini juga melahirkan konsep berikut dalam siklus bencana yaitu disaster preparedness (kesiapansiagaan) dan mitigation (pelunakan). Untuk bisa survive dalam 24 jam, masyarakat yang menjadi korban harus sudah disiapkan dulu. Dan untuk mengurangi jatuhnya korban lebih banyak, masyarakat perlu tahu upaya-upaya untuk menghindari bertambahnya kematian.

Jika ini berjalan, seharusnya tidak ada lagi rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang lumpuh, administrasi pemerintahan tetap berjalan, dan seterusnya dan seterusnya. Tentunya dengan tingkatan yang berbeda dari kondisi normal. Keadaan darurat sewajarnya diartikan untuk melipatduakan potensi dan usaha yang dimiliki bukan menurunkan dan mematikan aktivitas yang sudah rutin bergulir.

Sangat manusiawi jika para pelayan publik itu berusaha menyelamatkan dan mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya dalam siatuasi genting. Namun sekali lagi, hal ini tidak boleh berkepanjangan dan menjadikan mereka malfungsi yang menyebabkan pelayanan publik lumpuh. Puskesmas dan RS boleh saja tutup, kantor pemerintahan boleh sepi dari karyawan, toko, pom bensin masih tutup saat gempa. Namun sesegara mungkin ketika kondisi aman tercapai, aktivitas menanggulangi akibat gempa sudah bisa dimulai.

Jadi, jangan sampai ada lagi isu klenik yang menyangkutpautkan kejadian bencana dengan terpilih dan akan dilantiknya seseorang di antara kita menjadi presiden RI.

28 September 2009

Satu lagi kemudahan blogging

Baru aja tahu kalo ternyata MS Word 2007 menyediakan fasilitas untuk blogging. Sebelumnya memang cukup kesulitan menggunakan versi 2007 karena beda jauh dengan 2003. Daripada ngedumel tapi masalah masih dihadapi mending meluangkan waktu untuk ngutak-atik sana-sini.

Eh taunya dapet pilihan post to blog dengan cara yang sangat simpel, cukup register penyedia layanan blog yang sudah kita ikuti. Jadinya sambil jalan aja lah. Setelah sukses register langsung posting aja. Cuma messagenya agak serem juga, data dan password yang kita kirim mungkin terlihat oleh orang lain, apakah anda ingin lanjut? Ya lanjut dong…

Nggak panjang, namanya juga nyoba. Kalo sukses berarti besok-besok nggak usah masuk ke blooger untuk posting cukup dari MS Word 2007 aja. Ke blogger kalo mau ngganti settingan doang sama liat komen.

teknologi dalam genggaman

Dalam sejarah penggunaan teknologi komunikasi, mungkin aku nggak pernah neko-neko. Hape ya buat telepon dan sms, urusan kerja bikin laporan biar dikebut pake komputer ato laptop. Malah pernah saking sebelnya, sempat terlontar gagasan untuk mengirimi pabrikan hape agar menjual edisi hape "built to order" seperti yang pernah dilakukan salah satu pabrikan laptop. Maksudnya ya hape dikustomisasi agar lebih pas dengan keinginan pemakai. Dan keinginanku simpel, layar warna, bisa sms dan MMS, GPRS, tapi memori gede. No camera, No music or video player, dan bahkan no games et all!

Sekarang kebutuhan itu mengusik lagi. Setelah sekian lama puas dengan Ipaq 6365, akhirnya aku memutuskan mencari piranti baru. Bukan buat gaya-gayaan, tapi yang satu ini sudah hampir tamat menjadi korban vandalisme Mafaaza anakku tercinta. Sejak usia 1 tahun, setiap kali aku mengeluarkan Ipaq untuk menarik email yang masuk, ujung-ujungnya adalah rebutan hape. dan biasanya si Ipaq kembali dalam kondisi cukup mengenaskan : entah karet antena luarnya patah, entah casingnya yang coel. Tapi yang paling sering kembali dalam kondisi mati. Dari sini lah aku menegerti kelemahan 6365, nggak boleh mati kehabisan pasokan tenaga, entah batere kering, ato batere dilepas. Itu artinya RESET, that will erase all your data completely. Bersih seperti tidak pernah ada sebelumnya.

Kadang dengan bantuan laptop, beberapa data lama bisa di synchronouskan sehingga terisi kembali. Akhir-akhir ini rasanya badan tambah tua, jadi laptop Toshiba yang beratnya 3kg itu terasa menjadi beban melelahkan jika harus ditenteng kemana-mana.

Yang paling menjengkelkan tentu jika kondisi tersebut terjadi sebelum aku sempat melakukan back up terhadap data yang ada. Sudah berulang kali nomor telepon penting dan sms yang terhapus sehingga terpaksa dibackup dengan cara babe gw : nulis di buku telepon.

Dengan hadirnya era Blackberry dan communicator lain, tak urung menggoyahkan iman untuk mencari tahu keistimewaan masing-masing pegangan. Blackberry is okey, tapi untuk menikmati BIS (Blackberry Internet Service) kita harus berlangganan 180 ribu / bulan. Padahal selama ini tagihan selularku (dengan pasca bayar) jarang sekali menembus 150 rebu dengan aktivitas tarik-kirim email dari hape. Pfew, lumayan nguras kantong juga. Selain itu tampilan layar yang kecil (dibandingin Ipaq) cukup merepotkan untuk mengintai situs yg rutin kupantau. Belum tau apakah browser dari RIM bisa seperti OperaMobile dalam "menyunat" jml data yang ditampilin sehingga tidak membuat tagihan bengkak. Tapi katanya, kalo udah langganan BIS, browsing juga gratis yah..?

Berikut adalah HTC Touch. Langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebagai PDAphone tentunya piranti ini mendukung untuk kerja (karena memiliki fasilitas office) dan mailing. Kendala selanjutnya adalah harga yang selangit. Betul-betul harus merogoh kocek sedalam-dalamnya. Belum lagi susahnya menemukan service center HTC di Indonesia.

Lanjut ke Iphone. Hebohnya persaingan Iphone vs Blackberry dalam merebut pasar Indonesia membuat penasaran. Sekedar demam teknologi atau kebutuhan. Semua pengguna BB yang kutemui ketika kutanya alasannya memilih BB menjawab bisa chatting gratis. 200 rebu sebulan disebut gratis? Kalo Iphone : lebih gaya aja, bisa ndengerin musik lebih banyak, suara juga lebih bagus. Hallo...sejak kapan audio mono disebut bagus..? Harga juga tidak bisa dibilang murah. After sales dan service center juga belum ada. Lebih gila lagi, ada dua pilihan SIM Unlock (bisa dipake halo-halo) dan Full ato Factory Unlock yang membebaskan piranti dari penjara sistem yang dibangun Apple, sehingga pemilik bisa sepuasnya menambah applikasi pilihan.

Balik ke kebutuhan. Dari sisi harga cuma BB yang masuk dikantong. Tapi buat kerja gimana? Jawabannya ada di HTC Touch (dengan platform WM memudahkan untuk menginstal aplikasi under Windows). Sayangnya memori tergolong kecil untuk piranti sepintar itu. Kalo yang ini jawabannya ada di Iphone, tinggal pilih 8Gb, 16 Gb ato 32 Gb.

Setelah membuat rating dst, menimbang dst, memperhatikan dst, akhirnya memutuskan untuk terus nguber Iphone demi kelegaan layar, kecepatan browsing, dan kebesaran storage. Kan mahal..? Lagi nitip temen yang tugas di Amerika ngambil paket langganan tapi nggak diaktifin. Mau di unlock di Indonesia ajah...

Welcome to technology in your palm..

brangkat lageee....

setelah beberapa pekan lalu "gagal" berangkat karena kesibukan kerja, insyaAllah, akhirnya sore ini aku dan rekan relawan MER-C lain berangkat lagi ke Bandung menjumpai pengungsi korban gempa Jawa Barat.

Berlainan dengan opini media yang menyebutkan bahwa status penanganan bencana saat ini telah memasuki fase recovery (pemulihan), laporan warga yang masuk ke sekertariat MER-C malah menyebutkan mereka masih memerlukan bantuan pangan dan kesehatan.
Hmm, ada yang salah dengan persepsi masing-masing pihak. Atau malah kita yang kurang baik mengkomunikasikan konsep dan time-frame penanganan bencana

secara teori, siklus penanganan bencana terbagi menjadi rapid response (tanggap darurat), recovery & rehabilitation, mitigation (pelunakan) dan early warning system (sistem peringatan dini). Yah, namanya siklus nggak jelas mana yang ujung-pangkal. Tapi yg pasti urutan kerja berdasar impact bencana (saat bencana terjadi)

banyak literatur yang membatasi tanggap darurat sebatas 2 minggu sejak kejadian. Padahal secara tujuan, tanggap bencana berusaha untuk mempertahankan kehidupan untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa lebih banyak dan kerugian material lebih besar. Secara praktis, hanya ada dua ancaman disini, bahaya kelaparan dan bahaya kesehatan. Jika mau dijabarkan, bahaya kesehatan diakibatkan oleh penyakit dan perubahan lingkungan sekitar

Jadi, memang semestinya kondisi tanggap bencana atau pemulihan diberlakukan tidak secara umum, tetapi melihat kesiapan orang dan infrastruktur yang berjalan. Bisa jadi di kabupaten A sudah masuk pemulihan tetapi di Kabupaten B masih bergulat dengan tanggap bencana karena medan yang lebih berat sehingga menyulitkan bantuan masuk.

Well, kembali ke persiapan pribadi, tampaknya perjalanan kali ini juga untuk membuktikan semua hal itu, apakah teori yang memang tidak laku untuk kondisi indonesia, atau media yang salah mengutip pernyataan pejabat daerah atau faktor x lain, atau semuanya.

yang jelas sih, another journey begins...

18 September 2009

sharing

ahhh,..
hanya mengajak berbagi tuk rekan semua.
percayalah, tidak ada sesuatu yg kurang ketika dibagi. malah lebih memberi arti.

Yun, semoga amalmu bikin blog 96 mendapat balasan yg lebih baik...