17 November 2009

kapan sih terakhir kamu baca..?


Tergelitik oleh konten blog beberapa rekan TS, yang paling menarik minat adalah buku yang terakhir selesai mereka baca. Kata selsesai memang sengaja dibikin bold dan italic untuk memberikan penekanan proses itu sudah selesai, bukan baru diawal atau dalam perjalanan.

Ternyata, secara kasar, ditengah kesibukan rekan-rekan menjalankan profesinya (dan double kob bagi mereka sebagai ibu rumah tangga), banyak dari kita yang masih mampu merampungkan buku-buku terkini. With no offense, kalo calon spesialis baca jurnal mungkin lebih pada kewajiban dengan sedikit bumbu kebutuhan.

Fenomena ini mengingatkan di masa-masa kuliah dulu, ketika salah seorang dosen IPD kita (too bad, I'm totally forget his name. Apologize for this, Sir..!) yang mengutarakan bahwa semakin tinggi kedudukan profesi kita (mahasiswa - S.Ked - dokter - spesialis - konsulen) sebenarnya justru malah semakin jarang kita membaca. Jeduk..!! Masa sih..?? batinku setengah tidak percaya.

Well, setelah mencapai taraf dokter, baru aku tersadar bahwa sebagian dari apa yang beliau katakan ada benarnya. Kalau nggak dipaksa (entah karena lupa, ada pasien yang nanya, ato mentok nemu kasus aneh..) baru deh kita membuka buku kita. Itu untuk asupan kita sebagai dokter. Bagaimana dengan bacaan sebagai penyalur hobi atau sekedar mengetahui info yang berkembang? Baca novel, baca komik, baca buku resep makanan, buku sejarah, politik, koran, blablabla, whatever...

Waktu berangkat ke Kalimantan tahun 2003 untuk mencari pengalaman, yang pertama kali kukerjakan adalah menjejali laptopku dengan berbagai ebook kedokteran. Sederhana saja, buku kedokteran berat-berat, jadi dengan membawa versi ebook-nya aku hanya perlu menjinjing laptop saja. Berkebalikan dengan itu, aku tidak keberatan membawa berbagai novel, buku cerita sejarah sampai satu kardus mi instan! Dan semua itu ludes dalam waktu tiga bulan sejak aku tiba. Maklum banyak sekali waktu luang untuk dibunuh dengan membaca.

Demikian juga saat aku di Aceh ditengah para pengungsi dan pekerja sosial internasional. Kali ini yang kubaca adalah bagaimana menangani penyakit di pengungsian, mencegah outbreak, standar kerja petugas asing, dll. Walau setelah membaca dan memperhatikan itu semua, toh aku kecewa bahwa ternyata kinerja orang kita masih lebih baik dari relawan asing yang dikirim untuk membantu Indonesia. Belum lagi iri hati kalo membanding gaji mereka dengan relawan lokal. Tapi disini aku sempat menyelesaikan Musashi yang 1000-an halaman yang kubeli saat singgah di Gramedia Medan. Ga peduli dengan olok-olok teman,"wah, bukunya boleh tuh buat bantak, Bang..!" Demikian juga dengan Ketika Cinta Bertasbih yang kukenal di tenda pengungsian.

Saat di Irian, yang hampir setiap hari dicari adalah penanganan malaria, dan penyakit tropis infeksi yang menduduki 10 penyakit teratas. Singkatnya, Senin - Jumat kerja untuk pasien. Malam atau Sabtu - Minggu aku tenggelam dibalik Winnetou atau buku Karl May lain. Tidak seintens di Aceh dulu, karena di Irian aku ditemani istriku tercinta. Komplit, bulan madu di Papua sambil baca buku. Dibayarin lagi...

Di jakarta..?? Hobi beli buku kalo tidak ditahan oleh asuransi kesehatan dan pendidikan anak sepertinya tidak bisa berhenti. Aku sampai harus membuat rak buku baru untuk menampung koleksi buku milkku dan istri. Belum buku bacaan untuk putriku. Ruang tamu kami sudah seperti perpustakaan dan ketika putriku dan teman-temannya membaca yang ada adalah berantakan yang bikin pusing neneknya. Tapi, dari sebegitu banyak buku-buku yang kupunya, ironisnya belum ada satupun yang tamat kubaca.

Bacaan yang berhasil kuselesaikan lebih banyak adalah versi ebook, yang sudah kudonlod ke laptop atau hapeku. Beberapa audiobook juga kupunya yang kuputar saat pergi atau pulang mengendarai motor. Tapi kebiasaan ini kuhentikan karena mengganggu konsentrasi dan aku sendiri tidak bisa memahami jalan cerita yang dibacakan karena terganggu bising knalpot dan klakson dari kendaran lain.

Jadi, kembali ke pokok permasalahan yang diungkap si Dosen, aku saja yang masih level rendah sulit sekali menyisihkan waktu untuk membaca. Bagaimana dengan senior konsulen yang mereka pagi mengajar selanjutnya operasi atau praktek di RS lain?

Tampaknya kita memang harus menciptakan waktu tersendiri yang mewajibkan kita untuk membaca, entah apa bacaan itu. Salut buat mereka yang bisa melampaui hambatan waktu ini dengan merutinkan diri membaca.

16 November 2009

jakarta kebanjiran


sungguh akhir pekan kelabu.

rasanya kalo ditulis jakarta kebanjiran bukan hal yg aneh. sudah ratusan kali koran menurunkan berita setiap tahun, toh banjir makin kerap menyambangi jakarta.

Tapi kali ini yang bikin kelabu dan amarah seluruh pekerja urban adalah simbiose antara waktu turun hujan dan orang pulang kantor di Jumat sore. Bisa ditebak, yang ada hanyalah kemacetan dimana-mana.

Seperti janjian, seluruh kawasan bisnis jakarta digenangi oleh air setinggi lutut, bahkan lebih. Dan mobil dan motor yang memenuhi jalan sudah berubah menjadi perahu pengangkut manusia. Kondisi terparah saat jam 6 sore, karena mereka yang pulang sudah bosan menanti hujan reda sejak jam 4 saat bubaran kantor.

Kalo saja antrian tidak panjang banget, kalo saja motorku tidak mogok karena ketelan air got, kalo saja kamera digital yang kubawa sudah kupasangi casing waterproof, dan ribuan kalo-kalo yang lain mungkin aku bisa mengabadikan momen itu untuk kuceritakan nanti ke anak cucu betapa jakarta sudah mulai lelah menanggung hidup jutaan warganya.

Tapi pikiranku terfokus pada motor biru kesayanganku yang mati terendam banjir. Sepele sih, dengan sedikit ketelatenan membongkar busi dan menguras bensin di karburator, biasanya dia siap untuk menunaikan tugasnya lagi. Yg bikin senewen adalah saat itu sudah pukul 10 malam, padahal aku pulang dari kantor MER-C jam 9. Perjalanan panjang mengingat untuk durasi segitu biasanya aku sudah sampai rumah di Lenteng Agung yang berjarak 35 km. Lha ini baru nyampe matraman yang cuma 2 kiloan dari Kramat Lontar.

Senewen karena istriku ditegur oleh orangtuaku karena sampai malam belum sampai rumah. Maklum juga, mereka akan berangkat ke tanah suci keesokan harinya. Jadi kepinginnya saat itu seluruh anggota keluarga ngumpul dirumahnya. Ayahku malah bilang,"Ngapain sih si Arief hari gini masih di MER-C?" Nasib,..
Yang heboh jawaban istriku,"Ya mungkin karena Mas (panggilan istri ke aku) udah sering pergi kali, Yah..makanya nggak ngerasa tegang mau ditinggal.." Gubrak,..

Balik ke fenomena banjir Jakarta, sekedar menggambarkan betapa parahnya kondisi malam itu. Salah seorang teman sudah bersiap pulang jam 7 malam ketika teman lain datang untuk menjemput istrinya di kantor itu."Nanti aja, macet banget di Salemba," katanya mengingatkan. kamipun menunggu. Sampai jam 8, rupanya sang teman tadi sudah tidak sabar menunggu lagi. Jadilah ia bergegas keluar mencari kendaraan umum untuk pulang.
Dan seperti kuceritakan di awal, aku baru beranjak saat jam menunjukkan pukul 9. Ditengah asyik menggenjot sepeda motorku itulah kulihat sang teman tadi berjalan kaki disebelahku. Dia tidak menyadari karena banyaknya orang yang juga senasib, entah menunggu kendaraan umum, entah menunggu jemputan atau sama-sama mogok.

Dan ya itu tadi, untuk menempuh jarak Kramat - Matraman yang wajarnya hanya memakan 15 menit menggunakan angkot, saat itu membutuhkan 2 jam!!

Entah siapa yang salah, warganya kah yang sudah kelewatan mengeksploitasi alam atau memang alam itu sendiri yang sudah semakin tua. Tapi yang jelas, aku tidak menyesal tidak memilih dia yang ngakunya ahli sebagai gubernur jakarta karena permasalahan banjir yang rutin dialami belum sekalipun ditangani oleh ahlinya...