29 Oktober 2010

Berduka Untuk Indonesia


Gw ga mau mbebek dengan gerakan Pray For Indonesia yang marak belakangan ini setelah Indonesia mengalami letusan Merapi dan Gempa dan Tsunami di Mentawai.

Tapi gw merasa harus berduka dengan penanganan bencana di Indonesia, yang tidak mengalami perubahan pasca gempa dan tsunami yang menghancurkan Nangroe Aceh Darussalam. Kenapa tidak berubah? Yang paling prinsip adalah, walau sudah ada UU Penanggulangan Bencana, penanganan bencana di Indonesia masih terpusat dari Jakarta. Semuanya: koordinasi, pengiriman logisitik, relawan. Sehingga seolah-olah daerah tidak bisa mengatasi keadaaan yang terjadi di wilayahnya.

Entah apa alasan orang pusat merasa nyaman dengan pola yang sentralistik ini. Sebagai negara kepulauan, negara ini juga ramai dengan segala potensi bencana. Dan itu mewajibkan warga penduduknya untuk berlatih mengatasi bencana sendiri, bukan menggantungkan nasibnya dari orang lain. You on your own in 24 hours, demikian jargon penanganan bencana yang kerap didengungkan saat gw berlatih manajemen bencana. Ya, saat bencana terjadi, suka atau tidak, siap atau tidak, kita akan bergantung pada kemampuan kita sendiri untuk survive. Menggantungkan harapan pada bantuan yang akan datang hanya akan menghadirkan tragedi demi tragedi susulan.

Semoga Mentawai menjadi pelajaran terakhir kita. Semoga saudara kita disana yang meninggal adalah "tumbal" terakhir kebodohan kita. Semoga bencana yang hadir di negeri kita memanglah ujian buat kita, dan bukan azab yang ditimpakan sebagai balasan atas kelaliman kita membuat kerusakan di muka bumi ini.

15 Oktober 2010

Belajar dari Chile

Proses evakuasi 33 pekerja tambang yang terperangkap selama lebih dari dua bulan bukan saja upaya yang bikin jantungan, tapi lebih dari itu sangat memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mengikuti prosesnya. Entah semenjak awal, atau baru pada bagian akhir dari proses ini. Sebagai sebuah usaha yang dikerjakan manusia, ada begitu banyak pelajaran yang bisa disimak dari kejadian ini.
Adalah Presiden Chile, Sebastian Pinera, tokoh dibalik keberhasilan ini. Dan, sudah bisa ditebak, uung-ujungnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan tidak saja di negaranya namun juga di seantero jagad. Menurut Pinera, kerja ini bukanlah upaya untuk mengalahkan kematian melainkan bagaimana kita menghargai kehidupan.
Berikut catatan yang kubuat untuk dijadikan renungan belajar kita dari kasus Chile:
1. Pinera baru menjabat sebagai presiden kurang dari setahun. Dalam masa ini, pemerintahannya telah berhasil mengatasi dua bencana besar di Chile. Sebelumnya pada 27 Februari 2010, Chile juga dihajar gempa besar berkekuatan 8,6 MMI (ada yang mengatakan 8,8 MMI). Namun berbeda dengan Haiti yang langsung diserbu oleh lembaga bantuan internasional, Sebastian Pinera langsung mengatakan bahwa Chile mampu mengatasi sendiri kejadian tersebut. Dari sini aku mencoba mengerti bahwa kepemimpinan seseorang tidak berhubungan dengan masa jabatannya.
2. Latar belakang Pinera adalah bussinesman. Pun seorang bergelar PhD. Entah bagaimana ia menggabungkan keduanya. Sebelum menjadi presiden, Pinera adalah pemilik sebuah stasiun televisi berpengaruh di Chile. Namun untuk menghilangkan konflik kepentingan, ia menjual sahamnya di perusahaan terebut. Toh tanpa stasiun TV miliknya lagi, ia tetap menjadi tokoh utama liputan dari dalam dan luar negeri Chile. Hikmah kedua : kalau kita mengerjakan sesuatu dengan benar, kita tidak perlu repot dengan pencitraan.
3. Chile bukanlah negara kaya. Tahun lalu GDP mereka sebesar US$ 14,000 jauh dibawah Amerika Serikat yang mencapai US$ 35,000 per tahun. Tapi sepertinya upaya yang menelan biaya tak kurang dari US$ 10 juta ini terlihat seperti limitless budget. Hampir seluruh teknologi yang digunakan bukan berasal dari negara “maju”. Mereka mendatangkan mata bor dari Afrika Selatan, bukan AS atau Inggris yang “kaya” dengan perusahaan tambang. Mereka bekerja sama dengan ahli pertambangan dari Cina dan Mexico yang “kenyang” dengan pengalaman kecelakaan tambang. Dan yang paling menakjubkan, teknologi Phoenix1, kapsul pengangkut manusia dari perut bumi, dirancang oleh Angkatan Laut Chile. Teknologi ini kelihatan lebih menyerupai drum yang dikerek dengan katrol dan tali baja. Pelajaran ketiga : percaya akan kemampuan sendiri. Uang bukan masalah. In fact, kepedulian terhadap sesama itu menjadi magnet untuk memikul beban ini bersama-sama.
4. Yang pertama kali dikirimkan oleh tim penyelamat setelah berhasil membuat saluran penghubung adalah makanan dan alat komunikasi. Dari sini tim penyelamat intens mengabarkan setiap perkembangan di luar dan pekerja mengerti bahwa harapan hidup mereka terus tinggi, tidak lagi di ujung tanduk. Mereka tahu bahwa semua yang berada di atas masih peduli terhadap nyawa mereka.
5. Saat terjebak, adalah Luiz Ursula yang “menyatukan” hidup pekerja yang terjebak. Ia membagi jatah makan yang tersisa hingga mampu untuk bertahan hingga kiriman datang. Yang pada kenyataannya, tanpa pembagian ini, makanan yang ada hanya cukup untuk 48 jam. Ternyata saat tersulit pun bisa “diakali” jika kita merasa senasib sepenanggungan.
6. Sebagai pemimpin negara, Pinera mengontrol langsung proses evakuasi dan berada di lokasi dari detik pertama proses peluncuran Phoenix1, hingga pekerja terakhir bisa diselamatkan. Semua pekerja yang keluar dari liang dipeluk hangat oleh Pinera walau ia tahu tak satu pun dari mereka yang pernah mandi dalam 2 bulan terakhir. Tak tampak ada Paspampres atau protokoler yang mengacaukan momen ini. Pinera rela berada di lokasi selama 22 jam 37 menit menunggui proses evakuasi.
7. Setelah pekerja terakhir diselamatkan, teriakan yang keluar dari Pinera adalah: “Viva Chile!” diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Chile. Sontak seluruh orang yang ada di lokasi dan mereka yang menyaksikan melalui televisi berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan. Ga pake MC untuk mengomandani prosesi ini.
Well, masih banyak lah yang bisa dicatat. Tapi aku tulis yang menurutku paling menggugah.
Jangan dibandingkan sama Pak BY ya pas ke Wasior.

24 Juli 2010

Repotnya Menjaga Dua Tanggung Jawab

Ah,..
Kalau saja semua bisa diputar balik lagi
Kalau saja tidak ada keinginan untuk bikin blog
Kalau saja cukup bagiku untuk menjadi penikmat belaka

Tapi itu bukan diriku

Kadang kita bangga dengan berbanyak-banyakan
Walau sering lupa untuk mengisi
Apalagi sekedar menjaganya

Dan kutakmau diriku menjadi begitu

Sekarang kuingin memulai lagi
Satu, dua, tiga kata disini
Yang bisa mencatat semua pengalaman
Untuk dikenang bersama