28 Agustus 2011

Ngesot lagi ngesot lagi

Musibah kadang memang hadir tak disangka.

Hanya beberapa malam saja sebelum takbiran, gw jatuh dari motor. Gubrak! Beneran jatuh dari motor setelah beberapa tahun lolos dari kecelakaan. Parahnya lagi, kecelakaan kali ini melibatkan juga istri dan anak gw. Lengkap dah.

Berawal dari ajakan istri untuk nganterin ke ATM di bilangan cilandak. Tadinya kami mau sekalian ke ATM setelah tarling (tarawih keliling) kami di masjid sekitaran situ. Tapi, karena gw lihat istri kepayahan karena flu, gw bilang ke doi supaya tidur dulu aja.

Pas sekitar jam 9 malam, hape doi bunyi kenceng banget. Sambil ngelompat, doi nyamber tuh hape yang ternyata dari om gw. Gw sendiri ngeloyor ke sebelah, ke rumah ortu buat ngambil sayur asem. Tadi pas buka puasa gw ngeliat tuh sayur nantangin banget. Tapi karena gw dan istri biasa makan malam kelar sholat tarawih, ya udah itu sayur gw anggurin dulu. "Itu kan sayur kemarin!" protes istri. "Sayur asem mau kemaren ama sekarang sama aja, tetep asem" balas gw. Perut gw udah nggak sabar kalo nunggu doi masak dulu.

Kelar makan, doi ngajak sholat dulu. Tapi gw bilang ambil duit dulu aja. Ntar kalo kemaleman malah rawan. Bukan kenapa, yg mau diambil lumayan jumlahnya. Bakal THR ke nyokap, mertua ama nenek gw.

Ritual naik motor pun dilakukan. Jaket, masker, helm dah siap. Faaza putri gw jg ga mau ketinggalan. Cuma karena gerah, gw pikir gw pake celana gunung sedengkul gw aja. Bokap sempet keluar rumah nanyain mau kemana. "Nganterin Ira ke ATM" jawab gw pendek. Dan seperti gw bilang, musibah datang tanpa aba-aba.

Jalanan udah lumayan sepi. Maklum udah jam 10 malem. Motor juga ga gw geber. Bawa anak istri. Pake matic lagi. Ga asik. Udah jauh kami pergi, tujuan tinggal sekiloan. Pas di tikungan dobel (maksudnya abis nganan langsung ngiri) tiba-tiba, bak Simoncelli di MotoGP nyalip di tikungan, sebuah motor motong jalur gw. Ya lu tau lah tingkah Simoncelli, pembalap GP lain sering protes gara-gara gayanya yg mirip bali (balap liar).

Dan reaksi gw terlambat. Sebelum rem depan sempet gw cengkrem, ban depan motor udah senggolan ama pantat motor depan gw. GUBRAK. Motor yang lagi miring kanan karena belokan akhirnya rebah beralaskan badan kami. Mata gw masih sempet ngeliat si pelaku berhenti 50 meter di tikungan depan nengok ke belakang. Entah ikut shock atau menikmati momen kesuksesannya menjatuhkan 'pesaing' lain. Ngeliat kaya gitu hati gw panas. Tanpa nengok keadaan anak istri, gw paksain bangun dan jalan setengah lari ke arahnya. Mungkin menyadari korbannya masih bisa bangun dan melawan, si pelaku pun tancap gas. "Hoey, sini lu, B**O!" tereakan gw sia-sia hanya memancing perhatian orang untuk makin datang.

Saat balik ke motor, anak gw lagi digendong orang, istri gw jalan agak pincang dan motor dipinggirin. Sekarang, bareng dengan sakit yang menggigiti dengkul kanan, gw mulai khawatir dengan kondisi mereka. Alhamdulillah, si Faaza ga apa-apa, sedikit kaget mungkin. Kata istri waktu di rumah, saat jatuh, tangan doi berusaha megangin kepala Faaza yang ga pake helm. Tapi tetep aja gw periksa kepala, lengan, kaki dan sendinya. Memang sepertinya semua baik -baik aja. Perhatian gw pindah ke istri. "Dimana yg sakit?" tanyaku memastikan. Istriku menunjuk mata kaki kanannya. "Kepala?" "Tadi sih helm lepas, kayanya kebentur aspal." Kontan tanganku pindah dari kaki ke kepala mencari tanda fraktur. Sebuah suara wanita dari kerumunan terdengar,"Ibu, kalo kepalanya terbentur, sebaiknya ibu ke rumah sakit" Jari gw masih menyisiri kepala istri mencari tanda luka atau fraktur. "Ibu ini dokter kok!" suara lain terdengar menegaskan. "Suami saya juga do..ARH..HH! Sakit!" protes istriku tidak sempat menjelaskan status suaminya. Saat ini bukan momen yang tepat untuk menjelaskan siapa gw. Seorang dokter yang jadi korban tabrak lari tidak memperbaiki apa-apa. Lalu dua buah gelas air putih disodorkan ke kami. Ternyata, lokasi kejadian di depan restoran.

Setelah memastikan mereka baik semua, gw pindah meriksa motor. Selain baret, ga ada bagian yang pecah. Hanya spion kanan yg bengkok. Untungnya, spion ini yang menerima tekanan berlebih bukan badan kami. Gw coba ngidupin, mesin menyala setelah beberapa kali usaha. Setelah memastikan semua normal, gw kembali ke mereka.

Beberapa masih mengelilingi kami, dengan komentar menyalahkan pelaku yang ceroboh. Gw inget ada betadine di hipbag gw, sisa turing kemarin. Luka lecet di dengkul dan pangkal jempol kanan makin mengiris saat ditetesi antiseptik itu.

Dan dengan ucapan terima kasih, kami nerusin perjalanan ke ATM tujuan.

Hikmah:
- selalu gunakan helm dengan benar saat naik motor, tali kendor atau ga kepasang sama sekali ga diitung pake helm. Juga gunakan helm standar SNI. Kepala anda tidak sebanding dengan harga helm paling mahal sekali pun!
- berdoa sebelum berangkat (kami lupa waktu itu). Tidak setiap cerita berakhir bahagia.

29 Oktober 2010

Berduka Untuk Indonesia


Gw ga mau mbebek dengan gerakan Pray For Indonesia yang marak belakangan ini setelah Indonesia mengalami letusan Merapi dan Gempa dan Tsunami di Mentawai.

Tapi gw merasa harus berduka dengan penanganan bencana di Indonesia, yang tidak mengalami perubahan pasca gempa dan tsunami yang menghancurkan Nangroe Aceh Darussalam. Kenapa tidak berubah? Yang paling prinsip adalah, walau sudah ada UU Penanggulangan Bencana, penanganan bencana di Indonesia masih terpusat dari Jakarta. Semuanya: koordinasi, pengiriman logisitik, relawan. Sehingga seolah-olah daerah tidak bisa mengatasi keadaaan yang terjadi di wilayahnya.

Entah apa alasan orang pusat merasa nyaman dengan pola yang sentralistik ini. Sebagai negara kepulauan, negara ini juga ramai dengan segala potensi bencana. Dan itu mewajibkan warga penduduknya untuk berlatih mengatasi bencana sendiri, bukan menggantungkan nasibnya dari orang lain. You on your own in 24 hours, demikian jargon penanganan bencana yang kerap didengungkan saat gw berlatih manajemen bencana. Ya, saat bencana terjadi, suka atau tidak, siap atau tidak, kita akan bergantung pada kemampuan kita sendiri untuk survive. Menggantungkan harapan pada bantuan yang akan datang hanya akan menghadirkan tragedi demi tragedi susulan.

Semoga Mentawai menjadi pelajaran terakhir kita. Semoga saudara kita disana yang meninggal adalah "tumbal" terakhir kebodohan kita. Semoga bencana yang hadir di negeri kita memanglah ujian buat kita, dan bukan azab yang ditimpakan sebagai balasan atas kelaliman kita membuat kerusakan di muka bumi ini.

15 Oktober 2010

Belajar dari Chile

Proses evakuasi 33 pekerja tambang yang terperangkap selama lebih dari dua bulan bukan saja upaya yang bikin jantungan, tapi lebih dari itu sangat memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mengikuti prosesnya. Entah semenjak awal, atau baru pada bagian akhir dari proses ini. Sebagai sebuah usaha yang dikerjakan manusia, ada begitu banyak pelajaran yang bisa disimak dari kejadian ini.
Adalah Presiden Chile, Sebastian Pinera, tokoh dibalik keberhasilan ini. Dan, sudah bisa ditebak, uung-ujungnya dia dielu-elukan sebagai pahlawan tidak saja di negaranya namun juga di seantero jagad. Menurut Pinera, kerja ini bukanlah upaya untuk mengalahkan kematian melainkan bagaimana kita menghargai kehidupan.
Berikut catatan yang kubuat untuk dijadikan renungan belajar kita dari kasus Chile:
1. Pinera baru menjabat sebagai presiden kurang dari setahun. Dalam masa ini, pemerintahannya telah berhasil mengatasi dua bencana besar di Chile. Sebelumnya pada 27 Februari 2010, Chile juga dihajar gempa besar berkekuatan 8,6 MMI (ada yang mengatakan 8,8 MMI). Namun berbeda dengan Haiti yang langsung diserbu oleh lembaga bantuan internasional, Sebastian Pinera langsung mengatakan bahwa Chile mampu mengatasi sendiri kejadian tersebut. Dari sini aku mencoba mengerti bahwa kepemimpinan seseorang tidak berhubungan dengan masa jabatannya.
2. Latar belakang Pinera adalah bussinesman. Pun seorang bergelar PhD. Entah bagaimana ia menggabungkan keduanya. Sebelum menjadi presiden, Pinera adalah pemilik sebuah stasiun televisi berpengaruh di Chile. Namun untuk menghilangkan konflik kepentingan, ia menjual sahamnya di perusahaan terebut. Toh tanpa stasiun TV miliknya lagi, ia tetap menjadi tokoh utama liputan dari dalam dan luar negeri Chile. Hikmah kedua : kalau kita mengerjakan sesuatu dengan benar, kita tidak perlu repot dengan pencitraan.
3. Chile bukanlah negara kaya. Tahun lalu GDP mereka sebesar US$ 14,000 jauh dibawah Amerika Serikat yang mencapai US$ 35,000 per tahun. Tapi sepertinya upaya yang menelan biaya tak kurang dari US$ 10 juta ini terlihat seperti limitless budget. Hampir seluruh teknologi yang digunakan bukan berasal dari negara “maju”. Mereka mendatangkan mata bor dari Afrika Selatan, bukan AS atau Inggris yang “kaya” dengan perusahaan tambang. Mereka bekerja sama dengan ahli pertambangan dari Cina dan Mexico yang “kenyang” dengan pengalaman kecelakaan tambang. Dan yang paling menakjubkan, teknologi Phoenix1, kapsul pengangkut manusia dari perut bumi, dirancang oleh Angkatan Laut Chile. Teknologi ini kelihatan lebih menyerupai drum yang dikerek dengan katrol dan tali baja. Pelajaran ketiga : percaya akan kemampuan sendiri. Uang bukan masalah. In fact, kepedulian terhadap sesama itu menjadi magnet untuk memikul beban ini bersama-sama.
4. Yang pertama kali dikirimkan oleh tim penyelamat setelah berhasil membuat saluran penghubung adalah makanan dan alat komunikasi. Dari sini tim penyelamat intens mengabarkan setiap perkembangan di luar dan pekerja mengerti bahwa harapan hidup mereka terus tinggi, tidak lagi di ujung tanduk. Mereka tahu bahwa semua yang berada di atas masih peduli terhadap nyawa mereka.
5. Saat terjebak, adalah Luiz Ursula yang “menyatukan” hidup pekerja yang terjebak. Ia membagi jatah makan yang tersisa hingga mampu untuk bertahan hingga kiriman datang. Yang pada kenyataannya, tanpa pembagian ini, makanan yang ada hanya cukup untuk 48 jam. Ternyata saat tersulit pun bisa “diakali” jika kita merasa senasib sepenanggungan.
6. Sebagai pemimpin negara, Pinera mengontrol langsung proses evakuasi dan berada di lokasi dari detik pertama proses peluncuran Phoenix1, hingga pekerja terakhir bisa diselamatkan. Semua pekerja yang keluar dari liang dipeluk hangat oleh Pinera walau ia tahu tak satu pun dari mereka yang pernah mandi dalam 2 bulan terakhir. Tak tampak ada Paspampres atau protokoler yang mengacaukan momen ini. Pinera rela berada di lokasi selama 22 jam 37 menit menunggui proses evakuasi.
7. Setelah pekerja terakhir diselamatkan, teriakan yang keluar dari Pinera adalah: “Viva Chile!” diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Chile. Sontak seluruh orang yang ada di lokasi dan mereka yang menyaksikan melalui televisi berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan. Ga pake MC untuk mengomandani prosesi ini.
Well, masih banyak lah yang bisa dicatat. Tapi aku tulis yang menurutku paling menggugah.
Jangan dibandingkan sama Pak BY ya pas ke Wasior.

24 Juli 2010

Repotnya Menjaga Dua Tanggung Jawab

Ah,..
Kalau saja semua bisa diputar balik lagi
Kalau saja tidak ada keinginan untuk bikin blog
Kalau saja cukup bagiku untuk menjadi penikmat belaka

Tapi itu bukan diriku

Kadang kita bangga dengan berbanyak-banyakan
Walau sering lupa untuk mengisi
Apalagi sekedar menjaganya

Dan kutakmau diriku menjadi begitu

Sekarang kuingin memulai lagi
Satu, dua, tiga kata disini
Yang bisa mencatat semua pengalaman
Untuk dikenang bersama

17 November 2009

kapan sih terakhir kamu baca..?


Tergelitik oleh konten blog beberapa rekan TS, yang paling menarik minat adalah buku yang terakhir selesai mereka baca. Kata selsesai memang sengaja dibikin bold dan italic untuk memberikan penekanan proses itu sudah selesai, bukan baru diawal atau dalam perjalanan.

Ternyata, secara kasar, ditengah kesibukan rekan-rekan menjalankan profesinya (dan double kob bagi mereka sebagai ibu rumah tangga), banyak dari kita yang masih mampu merampungkan buku-buku terkini. With no offense, kalo calon spesialis baca jurnal mungkin lebih pada kewajiban dengan sedikit bumbu kebutuhan.

Fenomena ini mengingatkan di masa-masa kuliah dulu, ketika salah seorang dosen IPD kita (too bad, I'm totally forget his name. Apologize for this, Sir..!) yang mengutarakan bahwa semakin tinggi kedudukan profesi kita (mahasiswa - S.Ked - dokter - spesialis - konsulen) sebenarnya justru malah semakin jarang kita membaca. Jeduk..!! Masa sih..?? batinku setengah tidak percaya.

Well, setelah mencapai taraf dokter, baru aku tersadar bahwa sebagian dari apa yang beliau katakan ada benarnya. Kalau nggak dipaksa (entah karena lupa, ada pasien yang nanya, ato mentok nemu kasus aneh..) baru deh kita membuka buku kita. Itu untuk asupan kita sebagai dokter. Bagaimana dengan bacaan sebagai penyalur hobi atau sekedar mengetahui info yang berkembang? Baca novel, baca komik, baca buku resep makanan, buku sejarah, politik, koran, blablabla, whatever...

Waktu berangkat ke Kalimantan tahun 2003 untuk mencari pengalaman, yang pertama kali kukerjakan adalah menjejali laptopku dengan berbagai ebook kedokteran. Sederhana saja, buku kedokteran berat-berat, jadi dengan membawa versi ebook-nya aku hanya perlu menjinjing laptop saja. Berkebalikan dengan itu, aku tidak keberatan membawa berbagai novel, buku cerita sejarah sampai satu kardus mi instan! Dan semua itu ludes dalam waktu tiga bulan sejak aku tiba. Maklum banyak sekali waktu luang untuk dibunuh dengan membaca.

Demikian juga saat aku di Aceh ditengah para pengungsi dan pekerja sosial internasional. Kali ini yang kubaca adalah bagaimana menangani penyakit di pengungsian, mencegah outbreak, standar kerja petugas asing, dll. Walau setelah membaca dan memperhatikan itu semua, toh aku kecewa bahwa ternyata kinerja orang kita masih lebih baik dari relawan asing yang dikirim untuk membantu Indonesia. Belum lagi iri hati kalo membanding gaji mereka dengan relawan lokal. Tapi disini aku sempat menyelesaikan Musashi yang 1000-an halaman yang kubeli saat singgah di Gramedia Medan. Ga peduli dengan olok-olok teman,"wah, bukunya boleh tuh buat bantak, Bang..!" Demikian juga dengan Ketika Cinta Bertasbih yang kukenal di tenda pengungsian.

Saat di Irian, yang hampir setiap hari dicari adalah penanganan malaria, dan penyakit tropis infeksi yang menduduki 10 penyakit teratas. Singkatnya, Senin - Jumat kerja untuk pasien. Malam atau Sabtu - Minggu aku tenggelam dibalik Winnetou atau buku Karl May lain. Tidak seintens di Aceh dulu, karena di Irian aku ditemani istriku tercinta. Komplit, bulan madu di Papua sambil baca buku. Dibayarin lagi...

Di jakarta..?? Hobi beli buku kalo tidak ditahan oleh asuransi kesehatan dan pendidikan anak sepertinya tidak bisa berhenti. Aku sampai harus membuat rak buku baru untuk menampung koleksi buku milkku dan istri. Belum buku bacaan untuk putriku. Ruang tamu kami sudah seperti perpustakaan dan ketika putriku dan teman-temannya membaca yang ada adalah berantakan yang bikin pusing neneknya. Tapi, dari sebegitu banyak buku-buku yang kupunya, ironisnya belum ada satupun yang tamat kubaca.

Bacaan yang berhasil kuselesaikan lebih banyak adalah versi ebook, yang sudah kudonlod ke laptop atau hapeku. Beberapa audiobook juga kupunya yang kuputar saat pergi atau pulang mengendarai motor. Tapi kebiasaan ini kuhentikan karena mengganggu konsentrasi dan aku sendiri tidak bisa memahami jalan cerita yang dibacakan karena terganggu bising knalpot dan klakson dari kendaran lain.

Jadi, kembali ke pokok permasalahan yang diungkap si Dosen, aku saja yang masih level rendah sulit sekali menyisihkan waktu untuk membaca. Bagaimana dengan senior konsulen yang mereka pagi mengajar selanjutnya operasi atau praktek di RS lain?

Tampaknya kita memang harus menciptakan waktu tersendiri yang mewajibkan kita untuk membaca, entah apa bacaan itu. Salut buat mereka yang bisa melampaui hambatan waktu ini dengan merutinkan diri membaca.

16 November 2009

jakarta kebanjiran


sungguh akhir pekan kelabu.

rasanya kalo ditulis jakarta kebanjiran bukan hal yg aneh. sudah ratusan kali koran menurunkan berita setiap tahun, toh banjir makin kerap menyambangi jakarta.

Tapi kali ini yang bikin kelabu dan amarah seluruh pekerja urban adalah simbiose antara waktu turun hujan dan orang pulang kantor di Jumat sore. Bisa ditebak, yang ada hanyalah kemacetan dimana-mana.

Seperti janjian, seluruh kawasan bisnis jakarta digenangi oleh air setinggi lutut, bahkan lebih. Dan mobil dan motor yang memenuhi jalan sudah berubah menjadi perahu pengangkut manusia. Kondisi terparah saat jam 6 sore, karena mereka yang pulang sudah bosan menanti hujan reda sejak jam 4 saat bubaran kantor.

Kalo saja antrian tidak panjang banget, kalo saja motorku tidak mogok karena ketelan air got, kalo saja kamera digital yang kubawa sudah kupasangi casing waterproof, dan ribuan kalo-kalo yang lain mungkin aku bisa mengabadikan momen itu untuk kuceritakan nanti ke anak cucu betapa jakarta sudah mulai lelah menanggung hidup jutaan warganya.

Tapi pikiranku terfokus pada motor biru kesayanganku yang mati terendam banjir. Sepele sih, dengan sedikit ketelatenan membongkar busi dan menguras bensin di karburator, biasanya dia siap untuk menunaikan tugasnya lagi. Yg bikin senewen adalah saat itu sudah pukul 10 malam, padahal aku pulang dari kantor MER-C jam 9. Perjalanan panjang mengingat untuk durasi segitu biasanya aku sudah sampai rumah di Lenteng Agung yang berjarak 35 km. Lha ini baru nyampe matraman yang cuma 2 kiloan dari Kramat Lontar.

Senewen karena istriku ditegur oleh orangtuaku karena sampai malam belum sampai rumah. Maklum juga, mereka akan berangkat ke tanah suci keesokan harinya. Jadi kepinginnya saat itu seluruh anggota keluarga ngumpul dirumahnya. Ayahku malah bilang,"Ngapain sih si Arief hari gini masih di MER-C?" Nasib,..
Yang heboh jawaban istriku,"Ya mungkin karena Mas (panggilan istri ke aku) udah sering pergi kali, Yah..makanya nggak ngerasa tegang mau ditinggal.." Gubrak,..

Balik ke fenomena banjir Jakarta, sekedar menggambarkan betapa parahnya kondisi malam itu. Salah seorang teman sudah bersiap pulang jam 7 malam ketika teman lain datang untuk menjemput istrinya di kantor itu."Nanti aja, macet banget di Salemba," katanya mengingatkan. kamipun menunggu. Sampai jam 8, rupanya sang teman tadi sudah tidak sabar menunggu lagi. Jadilah ia bergegas keluar mencari kendaraan umum untuk pulang.
Dan seperti kuceritakan di awal, aku baru beranjak saat jam menunjukkan pukul 9. Ditengah asyik menggenjot sepeda motorku itulah kulihat sang teman tadi berjalan kaki disebelahku. Dia tidak menyadari karena banyaknya orang yang juga senasib, entah menunggu kendaraan umum, entah menunggu jemputan atau sama-sama mogok.

Dan ya itu tadi, untuk menempuh jarak Kramat - Matraman yang wajarnya hanya memakan 15 menit menggunakan angkot, saat itu membutuhkan 2 jam!!

Entah siapa yang salah, warganya kah yang sudah kelewatan mengeksploitasi alam atau memang alam itu sendiri yang sudah semakin tua. Tapi yang jelas, aku tidak menyesal tidak memilih dia yang ngakunya ahli sebagai gubernur jakarta karena permasalahan banjir yang rutin dialami belum sekalipun ditangani oleh ahlinya...

23 Oktober 2009

maling di kantor sendiri

Nggak ada yang salah dengan judul di atas. Hari ini entah salah siapa, pintu kantor tiba-tiba tidak mau terbuka. Kunci seperti terganjal, tidak mau masuk penuh. Kecurigaannya, masih ada anak kunci yang menempel di sisi dalam. Tapi siapa, tidak ada satu pun yang tertinggal di dalam sana. Kesimpulannya, orang terakhir lupa untuk mencabut anak kunci sebelum menutup pintu teralis luar.

Apes,....
Padahal klien dari salah satu perusahaan rekanan sudah datang menunggu. Dan dia pun menjadi saksi bagaimana kami bingung menghadapi situasi terkunci ini.

"Coba pake kawat deh, dok...?!" kata anak CS. Emangnya gue McGyver apa..kalo kunci motor dan mobil sih pernah kubongkar. Nah ini pintu teralis..??

"Panggil tukang kunci aja, deh..!" kataku tidak mau pusing, apalagi menambah kerusakan yang mungkin tidak perlu.

Maka pergilah si OB naik motorku nyari tukang kunci di daerah Jatinegara.

Sementara menunggu OB balik membawa tukang kunci, pandangan mataku menatap ruang kerjaku di lantai 2. kalo nasib baik, biasanya aku cuma menutup saja, tidak sampai mengunci gerendelnya. (Kebiasaan buruk, jangan ditiru...). Jadi yang kubutuhkan cuma tangga untuk naik ke Lt.2, membuka jendela dan turun kembali ke lantai 1 melihat sebab kenapa anak kunci tidak bisa membuka.

Keliling ke sekitar blok, aku menemukan tangga sedang nyender di salah satu kantor. "mBak, saya pinjam tangganya..." ujarku permisi ke penunggu kantor tersebut. "Buat apa, Mas? tanyanya menyelidik.."Buat masang spanduk..boleh ya.."kataku melas. "cuma ke B6, kok.." tambahku menyebut alamat kantor. "Kembaliin ya, Mas.." kata si mBak mengijinkan.

Ups, tangga yang kubawa hampir-hampir nggak mencapai lantai 2. Tidak apalah sedikit menggapai pegangan AC dan pipa. Sedikit memang, juga sedikit lagi jatuh kalo tidak hati-hati.
Damn,...jendela terkunci. Rajin juga OB-ku ngecek keamanan kantor...

Turun lagi, menilai keadaan lagi. Si OB belum balik dengan tukang kunci.

Aku ingat di lantai 4 ada celah di atap untuk masuknya sinar matahari, mungkin itu bisa dijadikan tempat masuk. Semoga aja bawah bagian itu bukan void bangunan, kataku dalam hati. Salah-salah menginjak langsung nyampe ke lantai 1. Buru-buru kuhapus bayangan itu.

Setelah ijin dengan tetangga sebelah, aku pun naik melalui kantor sebelah. Eh, cuma sampe lantai 3. So..? Bayangin ajalah Jackie Chan yang lagi ngelompatin tembok...Rada-rada fear factor gimana gitu..Inget pesen engkong: jangan liat ke bawah kalo lagi naek tinggi...!

Hup, sukses sampai atap lantai 4. Lho..? Ternyata semua pake multiroof, jadi nggak bisa diangkat karena permanen dipaku ke reng atap. Bengong lagi di atap kantor. Hmm, pemandangannya lumayan keren juga. Tapi puaanasssnya minta maap,...

Jadi aku buru-buru ke lantai 4, harapanku satu-satunya untuk masuk ke dalam. Pintu terkunci, jendela terkunci. Ya karena memang nggak ada yang tinggal di situ. Hampir-hampir kupecahkan kaca jendela di lantai 4. Tapi males banget ngerapihinnya. Mikir lagi

Congkel sana congkel sini, nggak bergerak juga. Kucopot lis karet kaca jendela masih ada lagi lis alumuniumnya. Halah,..gimana coba? Setan lewat lagi, udah pecahin aja...
Saat hampir mentok dan tangan udah menggapai kursi kecil untuk membuyarkan kaca, kuiseng nyungkil satu lis alumunium jendela. Kok, meregang..kuteruskan usaha itu. Aha...! berhasil dilepas. Bak ahli seluruh lis kulepas dan plop! Kaca jendela itu jatuh menimpaku. Nggak kok, nggak jadi pecah. udah siap siaga menunggu jatuhnya jendela.

Dengan gembira, aku melompat masuk ke kamar dan segera berlari menuruni tangga ke lantai 1. Gelap nggak kupikir lagi. Yang penting segera membuka pintu. Dan benar, si anak kunci dengan antengnya menggantung di lobangnya.

Akhir cerita nggak usah kutulis disini. Tapi moral kisah ini : selalu nilai kondisi yang terjadi berulang kali. Jangan libatkan emosi, gunakan akal sehat. terakhir, cheer up when everything is over.

Halah,