23 Oktober 2009

maling di kantor sendiri

Nggak ada yang salah dengan judul di atas. Hari ini entah salah siapa, pintu kantor tiba-tiba tidak mau terbuka. Kunci seperti terganjal, tidak mau masuk penuh. Kecurigaannya, masih ada anak kunci yang menempel di sisi dalam. Tapi siapa, tidak ada satu pun yang tertinggal di dalam sana. Kesimpulannya, orang terakhir lupa untuk mencabut anak kunci sebelum menutup pintu teralis luar.

Apes,....
Padahal klien dari salah satu perusahaan rekanan sudah datang menunggu. Dan dia pun menjadi saksi bagaimana kami bingung menghadapi situasi terkunci ini.

"Coba pake kawat deh, dok...?!" kata anak CS. Emangnya gue McGyver apa..kalo kunci motor dan mobil sih pernah kubongkar. Nah ini pintu teralis..??

"Panggil tukang kunci aja, deh..!" kataku tidak mau pusing, apalagi menambah kerusakan yang mungkin tidak perlu.

Maka pergilah si OB naik motorku nyari tukang kunci di daerah Jatinegara.

Sementara menunggu OB balik membawa tukang kunci, pandangan mataku menatap ruang kerjaku di lantai 2. kalo nasib baik, biasanya aku cuma menutup saja, tidak sampai mengunci gerendelnya. (Kebiasaan buruk, jangan ditiru...). Jadi yang kubutuhkan cuma tangga untuk naik ke Lt.2, membuka jendela dan turun kembali ke lantai 1 melihat sebab kenapa anak kunci tidak bisa membuka.

Keliling ke sekitar blok, aku menemukan tangga sedang nyender di salah satu kantor. "mBak, saya pinjam tangganya..." ujarku permisi ke penunggu kantor tersebut. "Buat apa, Mas? tanyanya menyelidik.."Buat masang spanduk..boleh ya.."kataku melas. "cuma ke B6, kok.." tambahku menyebut alamat kantor. "Kembaliin ya, Mas.." kata si mBak mengijinkan.

Ups, tangga yang kubawa hampir-hampir nggak mencapai lantai 2. Tidak apalah sedikit menggapai pegangan AC dan pipa. Sedikit memang, juga sedikit lagi jatuh kalo tidak hati-hati.
Damn,...jendela terkunci. Rajin juga OB-ku ngecek keamanan kantor...

Turun lagi, menilai keadaan lagi. Si OB belum balik dengan tukang kunci.

Aku ingat di lantai 4 ada celah di atap untuk masuknya sinar matahari, mungkin itu bisa dijadikan tempat masuk. Semoga aja bawah bagian itu bukan void bangunan, kataku dalam hati. Salah-salah menginjak langsung nyampe ke lantai 1. Buru-buru kuhapus bayangan itu.

Setelah ijin dengan tetangga sebelah, aku pun naik melalui kantor sebelah. Eh, cuma sampe lantai 3. So..? Bayangin ajalah Jackie Chan yang lagi ngelompatin tembok...Rada-rada fear factor gimana gitu..Inget pesen engkong: jangan liat ke bawah kalo lagi naek tinggi...!

Hup, sukses sampai atap lantai 4. Lho..? Ternyata semua pake multiroof, jadi nggak bisa diangkat karena permanen dipaku ke reng atap. Bengong lagi di atap kantor. Hmm, pemandangannya lumayan keren juga. Tapi puaanasssnya minta maap,...

Jadi aku buru-buru ke lantai 4, harapanku satu-satunya untuk masuk ke dalam. Pintu terkunci, jendela terkunci. Ya karena memang nggak ada yang tinggal di situ. Hampir-hampir kupecahkan kaca jendela di lantai 4. Tapi males banget ngerapihinnya. Mikir lagi

Congkel sana congkel sini, nggak bergerak juga. Kucopot lis karet kaca jendela masih ada lagi lis alumuniumnya. Halah,..gimana coba? Setan lewat lagi, udah pecahin aja...
Saat hampir mentok dan tangan udah menggapai kursi kecil untuk membuyarkan kaca, kuiseng nyungkil satu lis alumunium jendela. Kok, meregang..kuteruskan usaha itu. Aha...! berhasil dilepas. Bak ahli seluruh lis kulepas dan plop! Kaca jendela itu jatuh menimpaku. Nggak kok, nggak jadi pecah. udah siap siaga menunggu jatuhnya jendela.

Dengan gembira, aku melompat masuk ke kamar dan segera berlari menuruni tangga ke lantai 1. Gelap nggak kupikir lagi. Yang penting segera membuka pintu. Dan benar, si anak kunci dengan antengnya menggantung di lobangnya.

Akhir cerita nggak usah kutulis disini. Tapi moral kisah ini : selalu nilai kondisi yang terjadi berulang kali. Jangan libatkan emosi, gunakan akal sehat. terakhir, cheer up when everything is over.

Halah,

12 Oktober 2009

kuberpaling dari iphone

Awalnya sempet girang karena iphone 3G 32Gb sudah ditangan. Tapi demi jaga2, salah satu kesepakatan dengan penjual adalah garansi uang kembali jika tidak puas dengan produk atau ada cacat. Penjualnya yang terlalu baik atau akunya yang minta terlalu lebih. Tapi untuk 4,2 juta kayanya itu sah-sah aja.

Dan, yang dikhawatirkan pun terjadi. Banyak fasilitas yang hilang. Wifi nggak nyala, beberapa apps apple ga ada, yg parah handset ini ga bisa dikenali oleh iTune itu sendiri. Ada apa denganmu???

Penasaran kuoprek aja semua sistemnya..klik sana look for file, dst-nya

Kelihatan kalo mesin ini diberi kode NX bukan IPHONE seperti layaknya yang ada. Jadi kesimpulannya barang yg kubeli adalah nexian rasa iphone, kira2 begitu.

Sebell banget. Padahal buat beli tuh iphone nabung gaji 3 bulan. Udah permisi ama nyonya di rumah karena waktu dia kubeliin hape cuma ngasih Nokia ExpressMusic yg 2 jutaan.

Dan dengan segala cara tuh Iphone cina bisa kubalikin lagi ke penjualnya.

Walhasil, berhubung lagi butuh banget sama hape, smartphone ato whatever it calls, kuberalih ke Samsung Omnia i900, walo kalo mau jujur udah males pake platform Win**ws.
Yah sementara lah, kali aja ada rejeki tambahan buat nyari Android laen..ato ada jatah ke luar negeri beli iphone langsung disono...

07 Oktober 2009

Menghitung solidaritas saudara setanah air

Kapan kita bisa tahu bahwa kita memiliki saudara yang mendukung kita? Paling sering jika kita sedang kesusahan. Kalo pas kita sedang susah ternyata nggak ada yang peduli sama kita, jangan-jangan saat saudara kita yang lain susah pun kita juga tidak peduli. Semacam karma lah...

Pada kasus bencana Indonesia, kepedulian terbangun dengan informasi yang intens. Secara kasar, bagi media terbukti bad news is a good news. Boleh lah dilihat dalam hal pemberitaan gempa Padang. Ada dua stasiun televisi yang mendominasi. Pertama adalah TVOne yang notabene pemimpin redaksi beritanya adalah Karni Ilyas yg notabene orang Padang juga dan MetroTV yang sejak awal memang sudah memantapkan peran menjadi news TV di Indonesia. Secara kuantitatif tayangan kedua stasiun ini tentang gempa sangat intensif, mulai dari liputan, diskusi, dll. Yang jadi narasumber pun mulai dari masyarakat biasa, ahli, hingga politikus.

Hasilnya? Tayangan di running text TVOne menulis terkumpul 18 Milyar lebih. Kalau mau lebih heboh nih saya tulis pake angka semua 18.000.000.000 sementara MetroTV "cuma" sekitar 8 milyar. Itu pun digabung sama media lain milik Media Grup seperti koran Media Indonesia.

Itu dari media TV, belum terhitung dari media koran dan majalah, LSM besar dan kecil, mahasiswa yang ngumpulin recehan di peremoatan jalan dan lain-lain. Estimasinya mungkin bisa lebih dari dana tanggap darurat pemerintah yang 100 milyar itu...

Stasiun lain yang memberitakan "yang penting-penting saja" dalam bencana ini kedengarannya "kurang berbunyi" dalam menyebutkan hasil pengumpulan dana bencananya.

Kenapa demikian? Ada beberapa jawaban yang bisa diajukan ke depan.
Pertama, pemberitaan yang intens akan semakin menarik simpati orang lain untuk mau mengulurkan tangan, apalgi bila dikemas dengan cantik, tidak hanya sekedar mengumbar air mata korban bencana. Kedua, pemberitaan yang intens juga akan semakin memudahkan orang untuk mengingat kepada siapa sumbangan akan disalurkan. Ketiga,pemberitaan menunjukkan bahwa yang bersangkutan betul-betul telah bekerja dan nyampe disana. Pengalaman saya sendiri saat menggalang dana untuk Palestina sungguh sulit menangguk dana diawal-awal agresi karena tim MER-C sendiri belum masuk ke Gaza dan mengirim foto apa-apa. Tapi, begitu tim berhasil masuk dan mengirim foto-foto otentik dari Gaza, tim sosialisasi sampai kewalahan menerima permintaan jadi pembicara.

Kembali ke persoalan solidaritas tadi.
Tentu sangat naif jika kita hanya menghitung simpati kita dari rupiah yang kita keluarkan. Tapi kalo sama sekali tidak ada rupiah yang keluar, susah juga mau dikatakan bersimpati. Judulnya kan menghitung jadi kita bisa menghitung usaha kita untuk membantu saudara-saudara kita yang kesusahan di seberang sana. Entah dengan duit kontan, tenaga yang kita punya, waktu yang kita sisihkan dari jam kerja dan kumpul keluarga kita, ato mungkin hanya sekedar doa yang mustajab. InsyaAllah itu semua akan dicatat dan dijadikan timbangan amalan kita kelak.

01 Oktober 2009

bencana (lagi)

Belum selesai kita menghadapi gempa Jawa Barat, kini Ranah Minang digoyang juga. Seharusnya dengan kepahaman kita akan posisi yang berada di atas cincin pegunungan api, menjadikan kita siap serta tidak terkaget-kaget lagi apabila gempa hadir kembali.

Yang membuat miris saat menyaksikan tayangan (yang katanya) LIVE di media televisi, bukan saja banyaknya rumah, gedung, dan fasilitas umum yang rusak, tapi jauh daripada itu semua, adalah kondisi warga yang kebetulan tertangkap kamera hanya menonton atau menemani sang wartawan yang sedang melaporkan berita terkini dengan tergagap-gagap. Numpang mejeng? Ah tentu boleh saja. Tapi kan sekarang kondisi bencana. Memangnya mereka tidak memiliki keluarga untuk diselamatkan atau tetangga yang membutuhkan bantuan?

Salah satu jargon yang melekat pada fase awal bencana adalah Yo-Yo 24H, yang artinya you on your own for 24 hours! Kasarnya, jangan ngarepin bantuan datang deh sampai besok. mending apa yang bisa kita kerjakan dikerjakan dahulu. Konsep ini melahirkan kemandirian korban bencana dalam mengatasi kondisi yang ada sesuai kemampuan mereka. Konsep ini juga melahirkan konsep berikut dalam siklus bencana yaitu disaster preparedness (kesiapansiagaan) dan mitigation (pelunakan). Untuk bisa survive dalam 24 jam, masyarakat yang menjadi korban harus sudah disiapkan dulu. Dan untuk mengurangi jatuhnya korban lebih banyak, masyarakat perlu tahu upaya-upaya untuk menghindari bertambahnya kematian.

Jika ini berjalan, seharusnya tidak ada lagi rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang lumpuh, administrasi pemerintahan tetap berjalan, dan seterusnya dan seterusnya. Tentunya dengan tingkatan yang berbeda dari kondisi normal. Keadaan darurat sewajarnya diartikan untuk melipatduakan potensi dan usaha yang dimiliki bukan menurunkan dan mematikan aktivitas yang sudah rutin bergulir.

Sangat manusiawi jika para pelayan publik itu berusaha menyelamatkan dan mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya dalam siatuasi genting. Namun sekali lagi, hal ini tidak boleh berkepanjangan dan menjadikan mereka malfungsi yang menyebabkan pelayanan publik lumpuh. Puskesmas dan RS boleh saja tutup, kantor pemerintahan boleh sepi dari karyawan, toko, pom bensin masih tutup saat gempa. Namun sesegara mungkin ketika kondisi aman tercapai, aktivitas menanggulangi akibat gempa sudah bisa dimulai.

Jadi, jangan sampai ada lagi isu klenik yang menyangkutpautkan kejadian bencana dengan terpilih dan akan dilantiknya seseorang di antara kita menjadi presiden RI.